Pages

Rabu, 07 April 2010

TUGAS MAKALAH BISNIS INTERNASIONAL GLOBAL WARMING

Apa itu Global Warming?

Global warming adalah isu yang paling global di seantero bumi ini. Tidak ada isu yang lebih global ketimbang global warming karena semua manusia hidup di bawah satu atap yang bernama atmosfer. Global warming adalah fenomena berupa kenaikan temperatur rerata atmosfir bumi dan laut yang diperkirakan akan terus berlanjut. Model perhitungan yang didasarkan pada hasil IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) memprediksi terjadinya kenaikan temperatur antara 1,1 hingga 1,6 derajat C antara tahun 1990 hingga 2100.

Pemanasan bumi secara global ini disebabkan oleh semakin meningkatnya konsentrasi gas seperti CH4, CO2 dan lainnya. Gas-gas ini menimbulkan efek alami yang disebut dengan efek rumah kaca (greenhouse effect). Munculnya fenomena efek rumah kaca ini dapat dijelaskan sebagai fenomena karena terperangkapnya radiasi matahari di atmosfer bumi. Radiasi matahari ini datang ke bumi pada siang hari dengan intensitas 1200 W/m2 (di daerah katulistiwa pada tengah hari) atau 235 W/m2 rata-rata. Sebagian energi yang berupa ultraviolet dikonversi serta dihamburkan oleh lapisan ozon di stratosfer. Sebagian lagi dari berbagai panjang gelombang dihamburkan oleh atmosfer ke angkasa luar sehingga hanya sekitar 168 W/m2 yang diserap permukaan bumi. Permukaan bumi (daratan, lautan, vegetasi, hunian manusia) memancarkan balik sebagian sinar matahari dalam bentuk radiasi inframerah. Gas rumah kaca (H2O, CO2, CH4) menyerap pancaran radiasi infra merah ini sehingga atmosfer menjadi hangat. Dalam keadaan setimbang, permukaan bumi memancarkan dan menyerap energi rata-rata sebesar 492 W/m2.
Uap air (H2O) sebenarnya merupakan gas rumah kaca terkuat (memberikan sumbangan 36 – 70 % efek rumah kaca). Akan tetapi siklus harian air mencegah akumulasi berlebihan uap air di atmosfir. Efek uap air hanya dirasakan sebagai perubahan suhu harian atau sesuai dengan perubahan cuaca. Gas CO2 (memberi sumbangan 9 – 26 %) menimbulkan efek rumah kaca tidak sekuat uap air tetapi jauh lebih kuat daripada CH4 (memberikan sumbangan 4 – 9%). Gas rumah kaca lain adalah ozon (O3) yang memberikan sumbangan sebesar 3 – 7 %. Baik gas CO2 maupun CH4 dapat berada di atmosfir untuk waktu yang lama, sehingga CO2 merupakan gas utama yang bertanggung jawab atas pemanasan bumi.

Akibat aktivitas manusia dalam penggunaan energi fosil yang berlebih berakibat semakin banyaknya emisi CO2 di atmosfer. Akibatnya, semakin hari suhu bumi secara global mengalami peningkatan yang akhirnya kita mengenal fenomena global warming.


Dampak global warming bagi kehidupan bumi
Global warming menimbulkan dua macam akibat yaitu akibat langsung dan akibat ikutan. Akibat langsung berupa perubahan iklim global (global climate change) sedangkan akibat ikutannya adalah segala hal yang terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan iklim.

Perubahan iklim global dapat diamati dari berbagai fenomena yang terjadi, diantaranya:
1. Kenaikan permukaan laut sebagai akibat pelelehan gunung es di kutub dan pemuaian air laut. Akibatnya, daerah pantai atau dataran rendah serta pulau-pulau kecil akan terhapus dari peta bumi. Kepulauan Maladewa, negara kecil dengan 1.200 pulau di Samudera Hindia dengan jumlah penduduk 330.000 jiwa akan tenggelam total pada waktu kurang dari lima puluh tahun. Begitu juga kota seperti New York dan London terancam akan tenggelam.
2. Pelelehan lapisan es yang terjadi baik pada tumpukan es di kutub bumi maupun di pegunungan tinggi. Pelelehan lapisan es akan mempercepat pemanasan global karena pelelehan ini mengurangi reflektifitas dan menambah absortifitas permukaan bumi terhadap radiasi matahari.
3. Perubahan pola penguapan dan jatuhan air (hujan, salju, embun). Perubahan ini seringkali memunculkan berbagai fenomena cuaca ekstrem seperti banjir, kekeringan, gelombang panas, badai dan tornado.

Perubahan iklim global juga mengakibatkan berbagai perubahan-perubahan ikutan yang diantaranya :
1. Kepunahan beberapa spesies tumbuhan dan binatang. Diperkirakan sekitar 15 sampai 37 % spesies yang kita kenal sekaang akan punah pada tahun 2050 sebagai akibat pemanasan global.
2. Peningkatan penyakit dan vektor-vektor penyakit. Akibatnya beberapa virus atau bacteria yang dulu hanya ada di daerah tropis, seperti malaria, DBD dan sejenisnya, akan melanda daerah beriklim sedang.
3. Perubahan pola pertanian. Pemanasan global akan mengubah pola distribusi suhu global. Daerah yang sekarang beriklim tropis akan menjadi lebih panas, bahkan bisa berubah menjadi gurun. Daerah yang sekarang berilkim subtropis akan menjadi sepanas daerah tropis sekarang dan seterusnya. Dengan demikian tanaman yang pada masa sekarang lebih cocok untuk daeran tropis sekarang harus digeser ke daerah sub tropis. Perubahan pola ini tidak selalu segera sesuai dengan kondisi tanah. Dengan demikian, perubahan pola ini akan memberikan ancaman gagal panen dalam skala global yang akan membawa pada bencana kemanusiaan global.

Kapitalisme sebagai Penyebab Global Warming
Peningkatan gas rumah kaca terutama CO2 dimulai secara signifikan setelah kebangkitan ideologi kapitalis di Eropa dengan industrialisasinya. Gambar 1 menunjukkan korelasi ini dan menggambarkan peningkatan yang lebih tajam pada tahun-tahun berikutnya ketika industri mulai berkembang. Sehingga tidak salah bila kapitalisme dinobatkan sebagai ideologi dan peradaban yang bertanggung jawab atas global warming.
Disamping itu, negara-negara industri kapitalis merupakan negara yang paling bertanggung jawab dalam emisi berlebih CO2. Amerika Serikat penghasil CO2 terbesar, yaitu 25% dunia. Wyongming, negara bagian AS dengan penduduk yang tidak banyak, hanya 495.7000 orang, menghasilkan CO2 lebih banyak dibandingkan dengan tujuh puluh empat negara berkembang dengan jumlah populasi gabungan hampir sebaganyak 369 juta jiwa. Emisi CO2 yang dihasilkan Texas, dengan populasi 22 juta jiwa, setara dengan emisi gas yang dihasilkan oleh 120 negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 1,1 miliar manusia.[11] Secara kuantitatif AS menghembuskan hampir 6500 Mega Ton CO2-equivalen yang 95% dari sektor energi, sementara Indonesia (minus kebakaran hutan) dengan jumlah penduduk yang hampir sama dengan AS menghembuskan hanya sekitar 400 Mega Ton CO2-equivalen. Bila ditotal maka negara kapitalis yang tergabung dalam G-8 (AS, Jepang, Jerman, Kanada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) membuang CO2 sebanyak 68% dunia. Ini artinya negara industri kapitalis, dengan ideologi kapitalisnya, mengakibatkan bencana kehidupan berupa global warming.

Kesalahan kapitalisme sehingga berdampak destruktif terhadap kehidupan dapat dirunut dari kesalahan falsafah dasar yang membangun ideologi ini. Falsafah dasar ini terkait dengan pandangannya terhadap konsep kebutuhan manusia dan problem ekonomi. Kapitalisme beranggapan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sementara alat pemuas kebutuhan bersifat terbatas. Ini yang disebut dengan teori scarcity (kelangkaan). Dengan asumsi ini maka manusia harus melakukan aktivitas produksi untuk menjawab kelangkaan sumber daya pemuas. Peningkatan produksi dilakukan dengan pertumbuhan industri yang selanjutnya diistilahkan dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, teori ekonomi kapitalis senantiasa memandang bahwa problem ekonomi manusia terletak pada teori kelangkaan ini. Problem ini akan terpecahkan (kemakmuran akan tercapai) dengan satu hal, yaitu pertumbuhan ekonomi. Itulah yang menyebabkan bahwa pertumbuhan ekonomi selalu menjadi tujuan utama dalam pembangunan ekonomi kapitalis.


Pertumbuhan ekonomi kapitalis ini akan berdampak pada peningkatan emisi CO2 yang tidak terkendali. Pertumbuhan ekonomi kapitalis berarti peningkatan kebutuhan bahan baku industri, peningkatan kebutuhan energi, peningkatan produksi limbah dan perubahan gaya hidup. Semua aktivitas ini berdampak pada peningkatan CO2, baik secara langsung maupun tak langsung.

1. Peningkatan kebutuhan bahan baku industri.
Pertumbuhan volume industri berarti peningkatan kebutuhan bahan baku, yang mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam baik berupa hutan, biota laut, tambang sebagai bahan baku industri. Sumber daya alam berupa vegetasi (hutan) serta vegetasi laut tidak lain adalah absorber CO2 yang utama. Disamping digunakan sebagai bahan baku industri, kerusakan hutan juga terjadi sebagai akibat pengalihan penggunaan lahan. Dalam hal ini, hutan dialihkan menjadi perkebunan, yang tanamannya memiliki kemampuan serapan CO2 lebih rendah daripada hutan. Di beberapa tempat hutan juga dialihkan menjadi lahan pemukiman dan bahkan areal industri, sebagian yang lain rusak akibat pencemaran. Semuanya ini merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi ala kapitalis.


2. Peningkatan kebutuhan energi
Pertumbuhan industri berarti meningkatkan kebutuhan akan energi. Pada Gambar 2, ditunjukkan peran berbagai sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi dunia sekarang ini. Tampak bahwa sumber energi fosil seperti batubara, minyak dan gas bumi (pembakarannya menghasilkan CO2) memegang peran sangat besar. Pada Gambar 3, ditunjukkan emisi CO2 per kWh dari penggunaan berbagai sumber energi. Tampak pula bahwa penggunaan sumber energi fosil, batubara, minyak dan gas bumi, memberikan emisi sangat besar per kWh dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sektor energi memberikan sumbangan yang sangat penting bagi peningkatan emisi CO2 di atmosfer.

3. Peningkatan produksi limbah
Hal terpenting yang merupakan dampak peningkatan indutrialisasi sebagai dampak pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan produksi limbah. Limbah diproduksi sebagai konsekuensi pengolahan bahan baku menjadi produk industri, penggunaan bahan bakar dan pembuangan produk industri yang sudah usang. Efek langsung produksi limbah adalah kerusakan absorber CO2 alami, yaitu vegetasi daratan (hutan) maupun biota laut.

4. Perubahan gaya hidup
Pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan industri harus ditunjang dengan penciptaan pasar untuk menjual produk industri. Penciptaan pasar ini biasanya dilakukan dengan penciptaan pola hidup konsumtif. Teknologi periklanan pun berkembang untuk membentuk pola hidup yang mengejar keinginan. Kemudian, berbagai industri dewasa ini semakin cenderung memproduksi produk-produk yang berumur pakai pendek (misal industri mobil, kosmetik dan sebagainya). Sebagian industri lain menciptakan trend produk baru untuk membuat produk lama tampak usang dan ketinggalan jaman. Dengan demikian konsumen didorong untuk membeli produk-produk baru padahal produk lama belum sepenuhnya termanfaatkan. Produk lama ini pada akhirnya akan dibuang sebagai sampah. Dengan demikian, pada dasarnya industri sekarang ini memproduksi sampah sebagai produk industrinya dan hal ini semakin meningkat. Untuk itu, industri sekarang menghasilkan sampah juga selama prosesnya dan tentu saja sambil mengeksploitasi sumber daya alam. Semuanya ini berakibat kerusakan alam. Dalam kaitan dengan global warming, semuanya ini akan merusak absorber CO2 alami.

Bila ditelaah lebih jauh, kesalahan dari kapitalisme adalah ketidakmampuan ideologi ini dalam membedakan antaran kebutuhan (need) dan keinginan (want). Pandangan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sementara alat pemuas kebutuhan bersifat terbatas adalah pandangan yang menyesatkan. Alam yang ada sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia secara keseluruhan. Yang tidak terbatas sebenarnya adalah keinginan manusia akan materi. Kapitalisme tidak bisa membedakan mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan. Akibat teori kelangkaan ini semua diproduksi selama ada permintaan (keinginan), tanpa memperhatikan ia dibutuhkan ataukah tidak oleh manusia. Akibatnya, seperti dijelaskan di atas, banyak barang yang diproduksi sebenarnya tidak dibutuhkan sehingga menjadi sampah yang merusak ekologi. Dalam skala yang lebih luas aktivitas produksi yang tidak sehat ini berdampak pada eksploitasi sumber daya alam dan energi yang berakibat munculnya fenomena global warming.

Pandangan kapitalis yang salah tentang hak pengelolaan alam juga turut mengakibatkan bencana global warming. Kapitalisme menekankan privatisasi sektor publik seperti tambang energi, mineral, hutan, air, laut. Akibatnya eksploitasi alam menjadi tidak terkendali karena dikuasai oleh segelintir manusia yang menghamba pada pertumbuhan serta tidak merasa bertanggung jawab terhadap lingkungan. Prinsip ekonomi dengan modal sesedikit mungkin menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya mengakibatkan masalah limbah bukan menjadi urusan bisnis, apalagi penanganan limbah membutuhkan modal yang tidak sedikit. Walhasil, kita melihat di setiap ada perusahaan asing mengeksploitasi sumber daya alam di sana ada persoalan limbah. Jadi penguasaan kepemilikian publik, seperti tambang mineral, energi, hutan, laut, oleh swasta ditambah prinsip ekonomi yang rakus dan regulasi yang pro pebisnis disertai korupnya kekuasaan menjadikan manusia hidup di bawah ancaman ekonologis yang dahsyat berupa penenggelaman bumi oleh global warming.
Disamping itu, ekonomi kapitalis yang bertumpu pada sektor non-riil mengakibatkan hasrat untuk tumbuh menjadi tidak terbendung dan tidak terkendali. Perbankan dan sektor finansial ribawi turut memberikan fasilitas bagi korporasi dalam mengeksploitasi alam. Akibatnya sistem ini menghasilkan hyper growth, namun tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan global, malah menghasilkan pemanasan global.
Pemetaan Solusi Global Warming
Menyelesaikan problem global warming tidak cukup hanya menyentuh aspek teknis engineering. Bila hanya berbicara dalam tataran itu maka para ahli telah merumuskan banyak cara untuk mengatasi global warming, diantaranya :
1. Penghematan energi. Hal ini berarti mengurangi pembakaran bahan bakar fosil yang merupakan sumber energi utama peradaban sekarang. Berbagai mesin (industri, transportasi) dan peralatan (rumah tangga, kantor) didesain untuk menghemat pemakaian energi.
2. Sequestrasi CO2 dengan media pelesap alami. Berbagai jenis batuan dapat menyerap CO2 untuk kemudian membentuk senyawa karbonat. Berbagai negara melakukan studi dalam hal ini dengan menggunakan lapisan batuan pada goa-goa bekas tambang garam.
3. Penangkapan dan penyimpanan CO2. Pada idea ini, CO2 yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil tidak dibiarkan terlepas ke atmosfir tetapi ditangkap dan disimpan dengan cara dicairkan, diberi tekanan atau direaksikan menjadi senyawa karbonat. Problem yang muncul dalam hal ini adalah kebutuhan area atau medium yang sangat luas dan masif untuk penyimpanan CO2.
4. Penggantian bahan bakar. Solusi ini merupakan solusi engineering yang dianggap paling komprehensif tetapi sekaligus juga paling rumit. Pada metode ini, penggunaan bahan bakar fosil akan digantikan oleh bahan bakar lain.
5. Konservasi hutan, penghijauan dan menjaga vegetasi laut untuk absorbsi alami CO2.

Semua solusi teknis engineering yang ditawarkan selain memiliki beberapa kendala teknis, juga tidak dapat berjalan efektif ketika tidak ada kebijakan politik untuk mengurangi emisi CO2, terutama dari negara-negara industri kapitalis. Sebagai contoh negara emitter CO2 terbesar Amerika Serikat dengan gigih menolak Protokol Kyoto tentang pembatasan internasional atas tingkat pencemaran akibat emisi. Bali Roadmap yang diselenggarakan Desember 2007 lalupun terganjal dengan sikap AS yang arogan. Beberapa negara industri juga cenderung tarik ulur dalam masalah pengurangan secara pasti emisi CO2. Keengganan negara industri untuk serius mengatasi pengurangan CO2 menunjukkan persoalannya bukan terletak pada masalah teknis-engingering, namun masalahnya adalah pada level kebijakan politik.

Kebijakan politik yang mengabaikan nasib bumi ini adalah hasil dari ideologi kapitalis yang menjadikan ekonomi sebagai panglima. Mengurangi emisi karbon berarti negara maju harus mengurangi jumlah industri atau mengurangi jumlah produksi industri mereka. Hal ini berarti menghambat pertumbuhan. Penurunan pertumbuhan tentu bertentangan dengan cita-cita ekonomi kapitalis. Bagi mereka ini bencana ekonomi yang berdampak fatal pada kehidupan mereka. Jadi, negara kapitalis tidak mungkin mengambil kebijakan politik kalo harus menurunkan target pertumbuhan nasional.

Dapat disimpulkan penyelesaian global warming bukan sekedar penyelesaian di teknis-engineering, bukan pula pada perubahan kebijakan politik, tapi pada aras yang lebih dasar yaitu ideologi. Ideologi kapitalis harus diganti kalo kita ingin penyelesaian tuntas masalah global warming. Ideologi ini sangat bersifat egois dan ingin menangnya sendiri. Kita tentu masih ingat bagaimana dulu negara kapitalis Eropa melakukan kolonialisasi di Asia dan Afrika. Begitupun sekarang ini, kolonialisasi dibungkus dengan baju globalisasi. Jadi egoisme yang inheren pada kapitalisme membuat mereka berhitung secara ekonomi tentang penuntasan pemanasan global, tidak peduli bagaimana nasib bumi ini. Bahkan keegoisan penganut kapitalisme ini sudah tidak rasional lagi. Pada pertemuan tahunan 2006 di Davos, beberapa orang dari industri minyak membicarakan peluang-peluang baru yang diberikan oleh pemanasan global: mencairnya Kutub Utara akan membuat minyak di bawah Laut Arktik lebih mudah didapatkan. Bayangkan! Demi keuntungan mereka tidak peduli dengan nasib tenggelamnya kota New York, London dan beberapa kepulauan di laut Pasifik.

Bagaimana dengan negara berkembang? Setali tiga uang. Negara berkembang mau memperhatikan global warming karena kepentingan yang bersifat ekonomi pula. Walhasil, berbagai kesepakatan, konferensi atau pertemuan dunia yang menyangkut global warming telah bergeser menjadi isu ekonomi (perdagangan karbon), bukan lagi masalah ekosistem dan kemanusiaan. Inilah ideologi kapitalisme yang dipakai manusia bumi saat ini.

Oleh sebab itu solusi terhadap persoalan global warming bukanlah persoalan mencari solusi teknis engineering ataupun solusi kebijakan politik, namun lebih jauh dari itu. Pergantian ideologi kapitalis dan penerapan ideologi alternatif merupakan solusi yang bisa diharapkan. Oleh sebab itu, Islam sebagai ideologi alternatif dapat dijadikan referensi seluruh manusia untuk menyelamatkan bumi.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan untuk mereka sebagian (dari akibat) perbuatan tangan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar berupa Islam)” (Q.S. Ar-Rum: 41).
Islam sebagai Solusi untuk Bumi Sehat
Islam memiliki perspektif khas dalam memandang hubungan manusia dan alam. Hal ini menjadi dasar bagi tegaknya keseluruhan peradaban Islam, termasuk penataan lingkungan. Persepektif ini dibangun dari konsep tauhid dan ibadah. Konsep Tauhid memberikan cara pandang bahwa manusia, alam dan kehidupan merupakan ciptaan Allah SWT, yang mana Allah telah menciptakan semua ini dengan tujuan yang telah ditentukan. Allah telah menciptakan manusia, alam dan kehidupan dalam suatu kesetimbangan yang sinkron dan dinamis (Q.S. Al Baqarah: 30, Q.S. Ali Imran: 190). Kemudian, konsep ibadah memberikan pandangan bahwa tujuan hidup manusia hanyalah untuk beribadah kepada Allah (Q.S. Adz Dzariyat: 56). Ibadah di sini berarti seluruh perbuatan manusia harus ditata sesuai dengan aturan dari Sang Pencipta. Setelah kehidupan dunia ini, akan datang hari akhir, dimana semua manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya kepada Allah SWT. Dengan kedua konsep utama ini, maka Islam sangat berbeda dengan kapitalisme yang bersifat anthroposentris. Dalam Islam manusia tidak dapat berbuat semaunya di dunia ini tetapi harus terikat dengan aturan main Islam (Q.S. Al-Ahzab: 36).

Dalam pandangan ekonomi, Islam berbeda dengan kapitalis yang bertolak dari teori scarcity (kelangkaan) dimana produktifitas atau pertumbuhan dijadikan acuan utama ukuran keberhasilan ekonomi. Bila pertumbuhan kapitalis berdampak pada produksi barang dan eksploitasi alam yang tidak terkendali maka dalam Islam pertumbuhan berjalan lebih konservatif dan hati-hati. Produksi dalam Islam menjadi lebih selektif dan mengutamakan kebutuhan hakiki manusia. Dalam konsep Islam dibedakan antara kebutuhan pokok dan kebutuhan mewah. Prioritas produksi dan konsumsipun mendahulukan kebutuhan pokok. Sehingga barang yang diproduksi berdasarkan keinginan dalam ideologi kapitalis belum tentu dibutuhkan dan diproduksi dalam ideologi Islam. Karena konsep tauhid dan ibadah maka di dalam peradaban Islam manusia memiliki pola konsumsi dan produksi yang lebih baik dan tidak berlebih. Pertumbuhan dengan model Islam ini akan lebih hemat sumber daya alam dengan mengurangi eksploitasi yang berlebihan; mengurangi dampak negatif dari eksploitasi alam berupa kerusakan alam dan polusi akibat limbah; serta menjamin keberlangsungan alam dan ketersediaan sumber dayanya untuk generasi mendatang.

Pertumbuhan ekonomi Islam yang konservatif dan hati-hati ini dapat berjalan karena didukung oleh konsep ekonomi makro maupun mikro perspektif Islam. Konsep ekonomi makro Islam diantaranya: sistem moneter dengan berbasis mata uang emas dan perak dan bukan mata uang mengambang (floating money); sistem moneter non-riba yang mengandalkan sektor ekonomi riil dan meniadakan sistem ekonomi non riil ribawi (Q.S. Al-Baqarah: 275). Konsep ekonomi Islam mikro yang mendukung adalah konsep investasi (syirkah) yang memastikan bahwa setiap proyek (aktifitas ekonomi) akan berjalan jika benar-benar telah terdapat dana riil (yang berupa uang berbasis emas dan perak).

Bila Kapitalis tidak dapat menghindari eksploitasi alam berlebih, sebagai konsekuensi privatisasi sektor publik, maka Islam menjamin terkendalinya pemanfaatan alam. Dalam Islam dibedakan kepemilikan manusia menjadi tiga macam, yaitu: kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Dalam Islam, kekayaan alam yang berjumlah besar seperti tambang energi, barang mineral, laut dan hutan akan dikelola oleh negara yang hasilnya untuk kepentingan rakyat dengan memperhatikan kesehatan ekologis dan kesetimbangan ekosistem. Disamping itu eksploitasi alam yang menimbulkan mudharat sistemik kepada manusia diharamkan. Jadi, eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya alam di dalam Islam harus terkendali. Hal ini dapat terimplementasi bila negara yang mengelola sumber daya alam ini adalah negara yang amanah berdasar syariah.

Bila Kapitalis menjadikan ekonomi sebagai panglima bagi pembangunan peradaban, yang artinya nilai materi (qimah madiyah) dijadikan orientasi utama dalam menjalani kehidupan maka dalam Islam materi hanyalah salah satu dari empat nilai yang dituju oleh manusia. Selain nilai bersifat materi, ada juga nilai lain seperti nilai kemanusiaan (qimah insaniyah), nilai spiritual-ibadah (qimah ruhiyah) dan nilai moralitas (qimah akhlak). Perbuatan manusia seperti jual beli, ijarah, syirkah termasuk perbuatan dengan qimah madiyah. Pendidikan, pelayanan kesehatan, pemeliharaan anak, pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan adalah perbuatan dengan qimah insaniyah. Begitu pula amal-amal yang dilakukan oleh pejabat negara dalam menjalankan tugasnya sebagai qimah insaniyah. Shalat, zakat, puasa, haji, berdo’a, membaca Al Qur-an, jihad fi sabilillah adalah perbuatan dengan qimah ruhiyah. Berpakaian, menjaga silaturahim adalah contoh perbuatan dengan qimah akhlak.

Dengan demikian, maka manusia dalam Islam adalah hamba Allah SWT bukan hamba ekonomi. Kesadaran sebagai hamba Allah SWT membuat manusia memiliki kesempatan untuk hidup lebih baik. Manusia akan melakukan aktivitas berfikir dan berkarya dalam konteks penghambaan kepada Sang Pencipta. Manusia akan menyelenggarakan kehidupan bernegara, berekonomi, berpolitik dan mengekplorasi serta memanfaatkan alam untuk tujuan yang sesuai dengan rel seorang hamba. Dengan demikian kehidupan manusia akan menjadi kehidupan yang penuh rahmat dan barokah jauh dari persoalan global warming.

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S. Al A’raf : 96).

Global warming is not cool

Global warming is not cool. Kelakar itu benar dalam arti sesungguhnya. Perubahan iklim memang bukan sesuatu yang asyik, bukan pula sesuatu yang menyejukkan bagi kita. Indonesia tidak sendiri. Berbagai belahan bumi juga mengalami hal yang sama. Perubahan iklim terjadi sejak lama. Dampak dari perubahan tersebut mulai terlihat dari meningkatnya temperatur bumi. Akibatnya, di masa depan bukan tidak mungkin glaciers akan mencair yang menimbulkan potensi banjir dan naiknya permukaan laut. Di sisi lain, pemanasan global mengakibatkan kekeringan di belahan bumi lain. Siklus dari el-nino menjadi semakin pendek. Akibatnya, produksi pangan dunia akan terganggu. Kenaikan temperatur juga akan mengganggu ekosistem. Produksi pangan yang menurun dan banjir akan membuat negara-negara miskin semakin sulit. Bisa dibayangkan jika bencana ini terjadi di satu negara, migrasi besar-besaran akan terjadi. Akibatnya, keseimbangan politik dan ekonomi global pun ada dalam ancaman.
Dampak makroekonomi
Perubahan iklim (climate change) memiliki dampak makroekonomi yang substansial, baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama bagi negara miskin. Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya emisi greenhouse gas (GHG). Dalam pe-riode 1970-2004, misalnya, terjadi kenaikan GHG sebesar 70%. Persentase terbesar dari emisi karbon adalah karena penggunaan fosil fuel. Sampai hari ini, di Indonesia kontribusi terbesar emisi karbon memang berasal dari deforestasi (penggundulan hutan). Namun, di masa depan sejalan dengan perkembangan ekonomi, bukan tidak mungkin kontribusi dari fosil fuel terhadap emisi karbon terus meningkat. Di Bali, sejak dua minggu lalu para tokoh berkumpul, mencoba mencari solusi terhadap permasalahan ini. Kita sadar bahwa upaya penurunan emisi karbon bukan tanpa biaya. Stern report memperhitungkan bahwa biaya penurunan emisi karbon dapat mencapai 1%-5% dari PDB. Ini akan bervariasi antara negara. Satu hal penting yang pantas dicatat adalah upaya melakukan mitigasi dan adaptasi akan bermuara pada pertanyaan penting, yaitu instrumen apa dalam ekonomi yang dapat digunakan serta bagaimana pembiayaannya? Itu sebabnya, di Jimbaran, menteri keuangan dari 36 negara, tujuh institusi keuangan internasional, dan enam organisasi multilateral kemudian berkumpul. Kita tahu, peningkatan emisi karbon berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi. Ada kekhawatiran upaya pengurangan emisi karbon akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Negara berkembang juga khawatir isu climate change akan menggeser pembahasan tentang agenda kemiskinan. Bantuan akan terfokus pada climate change. Akibatnya, isu kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan menjadi terpinggirkan. Padahal kita tahu bagi negara berkembang, kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja merupakan isu yang sangat prioritas. Dalam konteks ini saya menilai penting bagi kita untuk melihat isu perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan. Ia harus menjadi isu ekonomi, investasi, dan pembangunan. Kita tidak mau pertumbuhan ekonomi terhenti. Kita masih harus tetap melanjutkan agenda penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Yang menarik adalah pertemuan para menteri keuangan di Jimbaran praktis datang dengan kesepakatan cara pandang Indonesia ini. Isu perubahan iklim harus bergerak dalam satu rangkaian dengan isu ekonomi, yaitu pertumbuhan, kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja.

Signal harga
Bila kita sepakat dengan soal itu, pertanyaan berikutnya adalah instrumen apa yang dapat digunakan? Teori ekonomi mengajarkan tentang pentingnya insentif dan disinsentif untuk memengaruhi perilaku atau aktivitas ekonomi. Isentif dan disinsentif dapat direfleksikan melalui signal harga. Pajak, misalnya, akan membuat harga menjadi lebih mahal. Sebaliknya, pembebasan pajak atau subsidi akan membuat harga menjadi relatif lebih murah dan meningkatkan permintaan. Dengan logika ini, pengenaan pajak bagi aktivitas ekonomi yang menimbulkan emisi yang tinggi akan membuat alokasi sumber daya untuk aktivitas tersebut menurun. Sebaliknya, pemberian pembebasan pajak bagi aktivitas ekonomi yang menggunakan teknologi ramah lingkungan akan membuat permintaan terhadap penggunaan teknologi ramah lingkungan meningkat.
Signal harga akan memengaruhi investasi dan alokasi sumber daya. Indonesia sendiri bukan tidak melakukan apa-apa selama ini. Pengeluaran untuk reboisasi telah meningkat dua kali pada 2007 dan 2008. Keputusan pemerintah yang sangat berat dengan menurunkan subsidi BBM juga sebuah langkah besar untuk mengurangi konsumsi fosil fuel. Subsidi BBM diturunkan dari 4% dari PDB pada 2005 menjadi 2.7% PDB pada 2007. Naif tentu bila menganggap persoalannya hanya akan selesai melalui mekanisme harga. Peran pemerintah tetap penting. Peran anggaran, misalnya, untuk melakukan reforestasi juga penting. Di sini saya melihat kontribusi dari pertemuan menteri keuangan di Bali minggu lalu. Para menteri keuangan memiliki instrumen fiskal untuk memengaruhi perilaku ekonomi. Karena itu, kesepahaman di Bali-dalam pertemuan menteri keuangan yang pertama kali di dunia khusus untuk membahas soal perubahan iklim-menjadi sangat penting. Jika mereka yang memegang instrumen melihat bahwa isu perubahan iklim dapat diatasi dengan instrumen yang mereka punyai, maka sebenarnya ada harapan untuk penyelesaian soal ini.
Pilihan kebijakan fiskal, pilihan alternatif penerimaan, pasar asuransi, pilihan investasi jangka panjang, serta insentif dan pilihan pelaku ekonomi dalam mengatasi masalah ini adalah hal yang dibahas. Bali adalah sebuah langkah awal. Di Jimbaran, para peserta setuju bahwa menteri keuangan dapat memainkan peran yang aktif melalui kebijakan fiskal.
Sangat mahal
Perubahan iklim adalah tantangan perkembangan global yang sangat mahal. Studi UNFCCC memperkirakan dibutuhkan tambahan investasi sebesar US$200 miliar per tahun sampai dengan 2030. Indonesia membutuhkan investasi dalam energi sebesar US$14 miliar per tahun sampai 2030. Padahal, kita tahu bahwa PMA di Indonesia hanya mencapai US$5,8 miliar pada 2006. Itu sebabnya peran pembiayaan menjadi sangat krusial.
Pembiayaan dapat bersumber dari dua sisi, yaitu investasi dan arus dana internasional, melalui bantuan institusi keuangan internasional, misalnya pasar karbon seperti CDM (clean development mechanism), REDD (reduction emissions from deforestation and degradation), global carbon facility, adaptation fund, dan debt for development (atau debt for nature) swap. Namun, perlu diingat bahwa jumlahnya terbatas. Peran yang sangat penting justru akan datang dari sumber dana swasta.
Bagaimana caranya menarik dana swasta? Di sini kita membutuhkan insentif yang memungkinkan investasi swasta serta inovasi dalam clean energy dan karbon yang rendah. Kita juga membutuhkan cara untuk membawa teknologi baru ke negara berkembang. Tanpa insentif, hal ini praktis sulit dilakukan. Pola public private partnership merupakan alternatif. Di Bali, Indonesia mengambil inisiatif untuk mengangkat isu ini, dan akan dilanjutkan dalam pertemuan di Polandia tahun depan. Di Jimbaran, para menteri keuangan sepakat tentang perlunya perbaikan mekanisme pembiayaan internasional. Para menteri keuangan pun sepakat tentang pentingnya pendekatan inovatif untuk aktivitas dana yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi. Saya kira ini sebuah langkah maju. Pertemuan para menteri keuangan hanya sebuah langkah awal. Ia harus dieksplorasi lebih jauh dalam berbagai pertemuan menteri keuangan selanjutnya. Perubahan iklim memang isu besar yang harus ditangani bersama. Problemnya jauh dari sederhana dan tidak menyejukkan. Persis seperti kelakar global warming is not cool.
Urgensi Pengadaan Green Building
Marak wacana pemanasan gobal, yakni sebagai ancaman bagi ekosistem mahkluk hidup yang menghuni bumi telah menginsipirasi para pengembang dalam menghadirkan hunian berwawasan lingkungan. Konsep hunian demikian menggunakan alam sebagai fokus perhatian utama, yang sekaligus mampu memberikan kontribusi yang penting untuk mencegah pemanasan global.
Kota metropolitan sebagai lingkungan buatan merupakan salah satu kontributor terbesar gas penyebab pemanasan global, yaitu CO2. Kemacetan lalu lintas, emisi gas buang kota, hingga rendahnya rasio ruang terbuka hijau menimbulkan kenaikan suhu lingkungan bertahap. Pada akhirnya, metropolitan seperti Jakarta yang terletak di sepanjang garis pantai akan menerima efek negatif terbesar. Keprihatinan akan bahaya pemanasan global atau global warming inilah yang mengusik sejumlah pelaku bisnis properti di Jakarta untuk memulai pembangunan gedung perkantoran yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah gedung perkantoran Arkadia.

Apakah Jakarta Memerlukan Green Buildings?
Kajian Dampak Permasalahan Lingkungan Terhadap Sektor Real Estat
Isu tentang permasalahan lingkungan kini semakin gencar dibicarakan oleh berbagai kalangan dalam forum-forum internasional. Perubahan iklim dan anomali siklus musim yang dirasakan di berbagai pelosok dunia semakin menguatkan pandangan bahwa bumi kita sedang menuju kepada fenomena pemanasan global (global warming). Sebagai respon terhadap hal tersebut, kalangan pemerintah dan swasta mulai merumuskan langkah-langkah yang lebih serius untuk mengurangi dampak negatif akibat penurunan kualitas lingkungan. Sektor properti sebagai salah satu sektor yang memiliki keterkaitan yang erat terhadap isu lingkungan tengah mengembangkan inisiatif untuk mengantisipasi efek kerusakan lingkungan akibat pembangunan atau perkembangan pasar properti. Salah satunya adalah dengan pengembangan gedung berkonsep “green building” (gedung ramah lingkungan). Didorong oleh permintaan dari corporate occupiers (perusahaan-perusahaan pengguna gedung perkantoran) yang semakin peduli akan isu lingkungan, tren pengembangan green building terus meluas dan merambah ke kawasan Asia Pasifik. Lalu, bagaimana dengan pasar di Jakarta?
Green Building for Commercial Building
December 11th, 2007
Isu pemanasan global merupakan tantangan setiap orang. Tidak terkecuali bagi para pelaku dalam bisnis properti. Pada 24 Agustus 2007 lalu, berbagai asosiasi yang terkait dengan dunia properti menggelar diskusi Pemanasan Global. Apa yang yang dapat dilakukan oleh dunia properti terhadap isu tersebut ? Berikut laporannya…
Kota metropolitan sebagai lingkungan buatan merupakan salah satu kontributor terbesar gas penyebab pemanasan global, yaitu CO2. Kemacetan lalu lintas, emisi gas buang kota, hingga rendahnya rasio ruang terbuka hijau menimbulkan kenaikan suhu lingkungan bertahap. Pada akhirnya, metropolitan seperti Jakarta yang terletak di sepanjang garis pantai akan menerima efek negatif terbesar.
Categories: Property Tags: AMPRI (Asosiasi Manajemen Properti Indonesia), Commercial Building, global warming, green building, green city, LEED (Leadership in Energy and Environmental Design), PT. Colliers International Indonesia
Global Warming & Green Building
December 7th, 2007 imam 2 comments
Isu pemanasan global atau global warming memang sudah menjadi keprihatinan kita bersama, tidak terkecuali sejumlah pengembang. Mengapa isu lingkungan begitu penting bagi sebuah kawasan hunian ? Apa yang bisa dilakukan oleh sejumlah pengembang dalam mengantisipasi global warming ini ?
Pemanasan global atau global warming dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi arus wacana utama dalam berbagai sendi kehidupan, tidak terkecuali di ranah properti. Hal ini tampak dari sejumlah pengembang yang mulai menggagas konsep pemukiman berwawasan lingkungan. Dalam kaitannya dengan pemanasan global, para pengembang berkreasi agar proyek yang mereka kembangkan minimal turut mengurangi atau tidak menjadi bagian yang turut andil terhadap terciptanya pemanasan global.
Global Warming dan Keamanan Pangan Indonesia
Bumi kita satu, tempat semua manusia hidup, berkembang, dan menciptakan peradaban. Batas imajinatif nation state seharusnya tidak membatasi kepedulian kita pada belahan bumi lain. Juga bukan alasan untuk menghabiskan masa depan karena singkatnya usia pemberian Tuhan. Inilah pesan yang bisa dipetik dari sidang ke-116 Inter Parliamentary Union (IPU) saat pembahasan pemanasan global beberapa waktu lalu. Pemanasan global memang bukan isu baru, tapi kesadaran manusia perlu terus diperbarui. Setelah menyuarakan pentingnya kepedulian semua negara pada masalah ini dalam sidang IPU, Pada Desember 2007 Indonesia juga akan menjadi tuan rumah konferensi ke-13 United Nation Framework Convention on Climate Change dan pertemuan ketiga dari Protokol Kyoto. Bagi Indonesia, agenda ini menjadi penting, mengingat secara geografis posisi negeri ini rentan terhadap dampak perubahan iklim. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas total daratan 1,9 juta kilometer persegi, yang terbagi atas 17 ribu buah pulau. Adapun luas lautan mencapai 5,8 juta kilometer persegi, termasuk zona ekonomi eksklusif. Ibu kota negara dan hampir semua ibu kota provinsi terletak di wilayah pantai serta 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir dengan panjang pantai total sekitar 81 ribu kilometer. Selain itu, Indonesia adalah negara agraris dengan tingkat produktivitas yang rawan mengalami gangguan akibat dampak global warming ini. Sementara itu, secara global, dengan luas wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia, posisi Indonesia sangat menentukan kondisi iklim dunia.
Di Indonesia, pengaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk semakin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektare. Dari jumlah itu, 471.711 hektare di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektare, yang 328.447 hektare di antaranya gagal panen. Adapun tahun lalu, 189.773 hektare tanaman padi mengalami gagal panen, dari 577.046 hektare sawah yang terkena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 5 ton gabah per hektare, gabah yang terbuang akibat kekeringan dan banjir pada 2006 mencapai 948.865 ton. Untuk tahun ini, Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan lahan pertanian yang mengalami puso karena banjir dan kekeringan hingga Februari mencapai 33 ribu hektare. Jumlah tersebut bukan angka tetap karena pada Maret lalu puluhan hektare tanaman juga terkena banjir. Akibat curah hujan yang tinggi dan pengelolaan irigasi yang tidak optimal, air yang diidentikkan sebagai rezeki dari langit tidak memberi berkah bagi penduduk bumi. Rosamond Naylor, Direktur Program Ketahanan Pangan dan Lingkungan dari Stanford University, melansir anomali cuaca El Nino, yang diperburuk oleh pemanasan global, akan menimbulkan kerugian bagi produksi beras di kawasan Jawa-Bali karena mundurnya musim hujan. Diperkirakan pada masa kekeringan Juli-September nanti, tanaman pangan terancam mati tanpa irigasi memadai. Sebelumnya, pada 2002, Rasamond Naylor, Water Falcon, dan kawan-kawan telah melakukan penelitian tentang "penggunaan data klimatologi El Nino/Osilasi Selatan untuk memprediksi produksi dan perencanaan kebijakan pangan Indonesia". Penelitian ini menyebutkan bahwa anomali iklim pada El Nino dapat mengurangi produksi padi hingga 4,8 juta ton gabah atau setara dengan 2,88 juta ton beras. Pemanasan global juga turut mempengaruhi peningkatan magnitude dan frekuensi kehadiran El Nino, yang memicu semakin besarnya kebakaran hutan. Inilah yang terjadi di Indonesia pada 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998. Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan pada 1997/1998 saja, menurut Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia, mencapai US$ 8.855, termasuk di dalamnya kerugian sektor perkebunan (berdasarkan luas area lahan yang terbakar) US$ 319 juta dan kerugian sektor tanaman pangan (berdasarkan penurunan produksi beras) mencapai US$ 2.400 juta. Melihat berbagai realitas di atas, tidak salah jika Intergovernmental Panel on Climate Change dalam laporan yang berjudul "Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability" pada 6 April 2007 menyimpulkan perubahan iklim semakin mengancam produksi pangan Indonesia.

Mitigasi dan adaptas
Komitmen dunia dalam mitigasi pemanasan global dengan menurunkan tingkat emisi secara kolektif 5,2 persen dari tingkat emisi pada 1990 tetap harus diusahakan. Sejauh ini negara maju memang mengucurkan banyak dana untuk berbagai skema penyelamatan hutan di Indonesia, antara lain melalui program Clean Development Mechanism. Namun, tidak bisa tidak, mereka juga harus menurunkan tingginya tingkat konsumsi energi fosil yang menyumbang besar pada pemanasan global dan secara bertahap menggantinya dengan energi yang ramah lingkungan.
Indonesia, yang tercatat sebagai penyumbang terbesar ketiga karbon dioksida--salah satu jenis gas rumah kaca--akibat kebakaran hutan, perlu mengambil langkah yang revolutif. Meski terlambat, inilah saatnya memprogramkan restorasi ekosistem nasional, pembangunan, dan pengelolaan hutan lestari serta moratorium logging di daerah-daerah tertentu. Pilihan kita, menahan sesaat kalkulasi ekonomi sektor ini atau bencana berkepanjangan. Dari data Badan Planologi (2004), diketahui kerusakan hutan di kawasan hutan produksi mencapai 44,42 juta hektare, di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta hektare, dan di kawasan hutan konservasi mencapai 4,69 juta hektare. Departemen Kehutanan menyebutkan pada 2000-2005, laju kerusakan hutan Indonesia rata-rata 1,18 juta per tahun. Klimaks kerusakan hutan negeri ini disebabkan oleh praktek ilegal sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara paling masif dalam laju kerusakan hutan.
Langkah adaptasi juga perlu dijalankan karena sekuat apa pun usaha kita mengurangi gas rumah kaca, kita tidak akan mampu sepenuhnya terhindar dari dampak perubahan iklim. Di berbagai negara, upaya adaptasi mulai dilakukan, misalnya pembuatan strategi manajemen air di Australia dan Jepang atau pembangunan infrastruktur untuk melindungi pantai di Maldives dan Belanda. Inilah yang kita perlukan di Indonesia. Setidaknya pemerintah membangun sistem identifikasi dan informasi mengenai dampak perubahan iklim serta mengembangkan sistem peringatan dini dan manajemen dampak perubahan iklim. Untuk sektor pertanian, sistem penyuluhan sebagai pusat informasi cuaca dan perubahan iklim harus dibangun serius. Menghadapi perubahan iklim yang kian nyata menjelang 2050, perlu dikembangkan jenis padi yang tahan kekeringan atau cara budi daya padi yang lebih efisien terhadap air. Selain itu, pembangunan dan manajemen irigasi penting dibenahi.
Kita perlu mempertanyakan bagaimana pemetaan wilayah yang rawan kekeringan, informasi perubahan dan prediksi iklim, peta zona agroekologi potensial, teknologi pemanenan hujan, serta embung yang selama ini diklaim telah dikembangkan pemerintah. Pada kenyataannya, bila El Nino tiba, selalu menyebabkan sebagian besar wilayah dan lahan pertanian kita mengalami defisit air. Penghijauan/reboisasi, pembangunan dan manajemen irigasi, serta penataan daerah resapan air dan daerah aliran sungai yang telah diprogramkan sejak Orde Baru tidak jelas hasilnya. Bahkan dalam rapat dengar pendapat Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum (8 Maret 2007) terungkap sebagian besar sungai yang ada di Pulau Jawa dalam keadaan kritis.

Untuk mengingatkan kembali, tahun ini pemerintah mentargetkan produksi beras 32,96 juta ton dari 33 provinsi, dengan sasaran luas tanam 12,49 juta hektare dan sasaran luas panen 11,86 juta hektare. Produktivitas diharapkan naik dari 4,6 ton pada 2006 menjadi 4,9 ton per hektare. Melihat masih tingginya losses dan gagalnya bantuan benih gratis pada musim tanam kedua tahun ini, tentu target pemerintah tersebut patut ditinjau ulang jika tidak ada pembenahan. Belum lagi dengan kemampuan adaptasi kita terhadap perubahan iklim akibat pemanasan global yang masih sangat minim. Sudah saatnya pemerintah bersungguh-sungguh mengurus negeri agar kesejahteraan tidak hanya merupakan realitas sekelompok minoritas dan ilusi berjuta-juta petani. Petani jangan dibuat kaya mimpi, tapi miskin pada kenyataannya.

PENGARUH GLOBAL WARMING TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA

Written by BUTET AGRINA KURNIAWANTI on November 18, 2009 – 1:26 pm
Global warming merupakan proses pemanasan pada bagian atmosfer karena untuk menghangatkan tumbuhan dari suhu yang dingin, sehingga tumbuhan dapat bertahan pada musim dingin. Cahaya matahari yang masuk ke bumi akan ditahan oleh lapisan ozon agar sinar yang masuk ke dalam bumi adalah sinar yang tidak membahayakan bagi makhluk hidup dan lapisan ozon (the ozone layer) akan mempertahankan suhu bumi agar tetap stabil. Radiasi matahari yang masuk ke bumi dalam bentuk gelombang pendek (short wave) yang menembus atmosfer bumi kemudian berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang dipantulkan kembali ke atmosfer. Akan tetapi tidak semua gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar karena dihadang dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer yang disebut gas rumah kaca. Peristiwa alam ini dikenal dengan efek rumah kaca.
Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca secara signifikan, sehingga menyebabkan akumulasi panas di atmosfer yang mempengaruhi sistem iklim global(global climate system). Hal ini menyebabkan naiknya temperatur rata-rata bumi yang dikenal dengan pemanasan global. Pemanasan global pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim, atau tepatnya perubahan beberapa variabel iklim seperti suhu udara dan curah hujan.
Enam jenis gas yang digolongkan sebagai gas rumah kaca (greenhouse gases), antara lain:Karbondioksida (CO2) yang berasal dari pembakaran (fossil fuel)bahan bakar fosil (minyak bumi, batu bara, dan gas alam).Metana (CH4) berasal dari areal persawahan, pelapukan kayu, timbunan sampah, proses industri, dan eksplorasi bahan bakar fosil(fossil fuel).Nitrous Oksida (N2O) yang berasal dari kegiatan pertanian atau pemupukan, transporasi, dan proses industri. Hidroflourokarbon (HFCs) berasal dari sistem pendingin, aerosol, foam, pelarut, dan pemadam kebakaran.
Perflourokarbon (PFCs) berasal dari proses industri.Sulfurheksafluorida (SF6) berasal dari proses industry.Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global akan menimbulkan dampak negatif, antara lain mencairnya lapisan es terutama di kutub utara dan selatan yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut. Akibatnya, volume lautan meningkat dan permukaannya naik sekitar 9-100 sentimeter sehingga akan menyebabkan tenggelamnya daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.Perubahan iklim juga akan menyebabkan pergeseran musim. Musim kemarau akan berlangsung lama dan dapat menyebabkan kekeringan, sehingga kebakaran hutan meningkat. Kebakaran hutan akan menyebabkan gas CO yang berbahaya bagi manusia banyak terbentuk dan ikut masuk dalam saluran pernapasan manusia ketika sedang bernapas. Penumpukan gas CO dalam saluran pernapasan akan menyebabkan sesak nafas, sehingga mengganggu kesehatan. Pergeseran musim menyebabkan musim hujan datang lebih cepat dengan kecenderungan intensitas curah hujan (intensity of rainfall) yang lebih tinggi sehingga menyebabkan banjir dan tanah longsor. Banjir merupakan luapan air yang melanda suatu daerah tertentu. Luapan air tersebut dapat membahayakan kesehatan manusia, karena di dalamnya terdapat mikroorganisme penyebab penyakit(microorganisms cause disease), sehingga dapat menurunkan kualitas air dan terjadinya krisis persediaan makanan. Penurunan kualitas air dan krisis persediaan makanan menyebabkan timbulnya penyakit, seperti malaria, demam berdarah, dan diare.
Perubahan iklim dapat kita antisipasi salah satunya dengan adaptasi (penyesuaian) terhadap perubahan iklim yang bertujuan untuk meminimalisasi dampak yang telah terjadi, mengantisipasi resiko, sekaligus mengurangi biaya yang harus dikeluarkan akibat perubahan iklim. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk beradaptasi antara lain:
Memahami kondisi cuaca dan pergerakan angin sebelum beraktivitas.Penyesuaian pola tanam yang mengikuti peruahan musim. Tidak menggali tanah yang miring di lereng bukit atau gunung untuk mencegah longsor.Bagi yang bertempat tinggal di dekat pantai, agar mewaspadai pasang air laut. Membudayakan hidup bersih dan membiasakan membuang sampah pada tempatnya unuk mencegah banjir karena tersumbatnya aliran air.
Membuat bak atau kolam untuk menampung hujan dan membuat sumur resapan.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek rumah kaca sehingga dapat memperlambat laju pemanasan global adalah:
Membudayakan gemar menanam pohon dan menggunakan tanaman hidup sebagai pagar rumah. Penebangan pohon harus diikuti dengan penanaman kembali bibit pohon yang sama dalam jumlah lebih banyak.
Hindari membakar sampah.Jangan membuka lahan dengan membakar.Hemat energi.Usahakan menggunakan transportasi umum dan kendaraan yang berbahan bakar ramah lingkungan (environmentally friendly fuel).
Rawat mesin kendaraan secara berkala agar emisi gas buang kendaraan baik.
Bagi industri, selalu memantau emisi gas buang limbahnya.


Fakta Tentang Peternakan, Kaitannya Dengan Global Warming
Jul 26, 2009 in Berita Luar Negeri

Pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah memperkirakan bahwa pemeliharaan ternak untuk produksi daging dan susu bertanggung jawab terhadap 18% pemanasan global.
Hal tersebut membuat kenyataan semakin jelas bagi para ilmuwan bahwa industri peternakan ternyata memberi dampak yang sangat signifikan.
Dr. Rajendra Pachauri, kepala Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) berkomentar dalam sebuah pidato yang beliau berikan pada bulan September 2008 mengenai peran pengurangan konsumsi daging dalam menghadapi pemanasan global.
Dr. Rajendra Pachauri – Kepala Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, VEGETARIAN (L): Sejak orang-orang mendengar hal yang saya sampaikan hari ini, saya telah menerima sejumlah email dari orang-orang yang menyatakan bahwa Saya setuju bahwa angka 18% adalah penaksiran yang terlalu rendah; tetapi pada kenyataannya dampaknya sebenarnya jauh lebih tinggi.
SUARA: Gas-gas rumah kaca diemisikan selama hampir setiap proses produksi daging. Dari tiga gas rumah kaca utama: karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, metana 72 kali lebih berpotensi daripada CO2, sementara dinitrogen oksida 300 kali lebih berpotensi daripada CO2.
Untuk menghitung pontesi dari gas metana, metode yang digunakan saat itu adalah dengan metode rata-rata selama periode 100 tahun. Tetapi pada kenyataannya, metana adalah gas yang eksis dalam waktu yang jauh lebih singkat. Oleh karena itu, para ilmuwan telah menyatakan bahwa lebih akurat jika potensi metana dihitung selama 20 tahun, sehingga hal ini menunjukkan bahwa metana sebagai sebuah gas rumah kaca mempunyai potensi pemanasan 72 kali lebih besar daripada CO2.
Ahli ilmu fisika AS, Noam Mohr dari Institut Politeknik Universitas New York menyatakan hal berikut dalam sebuah wawancara dengan Supreme Master Television.
Suara Noam Mohr – Ahli Ilmu Fisika, Institut Politeknik Universitas New York, Amerika Serikat, VEGETARIAN (L): Ketika diukur selama 100 tahun, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa peternakan hewan bertanggung jawab sebesar 18% terhadap emisi-emisi pemanasan global, dan itu merupakan jumlah yang sangat besar, jauh lebih banyak daripada emisi seluruh transportasi di dunia yang digabungkan.
Jika Anda melihat pada jangka waktu yang lebih pendek, metana mempunyai dampak yang sangat besar, dan oleh karena itu angkanya menjadi membesar. Jika kita menghitung dalam jangka waktu yang singkat maka angka yang sebenarnya akan jauh lebih tinggi.
Profesor Barry Brook (L): Jadi, jika Anda melihat pada laporan-laporan ini, mereka akan menyatakan bahwa metana memiliki dampak sekitar 25 kali CO2. Tetapi sungguh, ketika metana sudah berada di atas sana, di atmosfer dan bereaksi, ia akan mempunyai dampak 72 kali lebih besar dari CO2 dan itu mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Dengan tingkat emisi metana global sebesar 37%, peternakan merupakan sumber tunggal terbesar dari metana yang ditimbulkan oleh manusia. Dr. Kirk Smith Profesor di Universitas Kalifornia – Berkeley, AS (L): Tentu kita harus menghadapi CO2, tetapi jika Anda ingin memperbaiki iklim dalam 20 tahun ke depan, kita harus berkonsentrasi pada gas-gas rumah kaca yang mempunyai umur yang lebih singkat, dan yang terpenting dalam hal ini adalah metana.
Jadi, dalam perkiraan emisi untuk 20 tahun ke depan, CO2 dalam emisi tahun ini hanya akan sekitar 40% dari jumlah pemanasan keseluruhan.Sedangkan 60% lainnya atau lebih daripada itu berasal dari gas-gas yang berusia lebih pendek, terutama gas metana.
SUARA: Selain itu, menurut ahli ilmu fisika AS, Noam Mohr, peternakan memberi sumbangan emisi yang bahkan lebih besar jika kita memasukkan faktor lainnya yang belum terhitung: Aerosol, atau partikel-partikel yang dilepaskan bersama dengan CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil, meskipun berbahaya terhadap aspek kesehatan, tetapi sesungguhnya memiliki efek pendingin.
Noam Mohr – Ahli Fisika dengan gelar yang ia peroleh dari Universitas Yale dan Universitas Pennsylvania, AS, VEGETARIAN (P): Saat kita mempertimbangkan aerosol dan efek netto dari pembakaran bahan bakar minyak, pengeluaran karbon dioksida memanasi planet sedangkan aerosol mendinginkan planet, jadi efek netto secara kasar menjadi impas.
Itu berarti sebagian besar dari efek pemanasan yang kita lihat dalam sejarah dan yang mungkin akan kita lihat di masa mendatang, berasal dari gas lainnya, yaitu gas metana.
Dr. Kirk R. Smith – Dosen, Universitas Kalifornia – Berkeley, AS (P): Peternakan telah menyumbang 20% dari semua emisi gas rumah kaca, tapi maafkan saya, sistem daging juga mencakup hewan ternak, penanaman panen untuk makanan hewan, transportasi untuk daging tersebut, dan pupuk untuk menumbuhkan panen untuk memberi makan ternak tersebut. Itu menambah gas metana lebih banyak daripada cara biasa yang dipergunakan.
Dr. Kirk R. Smith (P): Jika kita mengolah dengan lebih banyak lagi, maka 20% tersebut mungkin akan meningkat menjadi 30%. Jadi 30% dalam 20 tahun mendatang adalah akibat dari produksi daging.
SUARA: Dr. T. Collin Campbell, seorang peneliti yang terkenal dan pengarang buku terlaris internasional “The China Study”, juga menunjukkan bahwa dampak peternakan dalam memanasi planet jauh lebih besar.
Dr. T. Colin Campbell – Peneliti nutrisi yang terkenal, Universitas Cornell, AS, VEGAN (P): Saya baru saja mendapat informasi jumlah yang baru yang menunjukkan bahwa peternakan setidaknya menghasilkan setengah dari gas-gas rumah kaca yang ada sekarang ini, dan mungkin juga lebih dari itu. Jadi bukan 15% atau 20%.
SUARA: Kami berterima kasih kepada para ilmuwan karena telah menegaskan pentingnya pengurangan konsumsi daging untuk mengurangi emisi gas metana. Semoga setiap orang segera bergabung dengan solusi nabati yang berkelanjutan agar kita dapat mengerem pemanasan global secara efektif bagi semua penghuni Bumi.
Dalam konferensi video di bulan Juli 2008 dengan anggota Asosiasi di Thailand, Maha Guru Ching Hai mengungkapkan kenyataan tentang dampak kumulatif dari peternakan hewan terhadap pemanasan global.
Produksi daging menyebabkan 80% pemanasan global
Maha Guru Ching Hai: Karena polusi peternakan juga meliputi berbagai hal: Transportasi, pemborosan air, penebangan hutan, pendinginan, pemeliharaan, perawatan medis bagi hewan dan manusia, dan sebagainya, itulah segala jenis polusi yang berasal dari produksi daging. Bukan hanya lahan yang mereka gunakan, bukan hanya gas metana dan gas dinitrogen oksida saja, itu semua adalah produk sampingan, tidak ada akhir dari daftar tersebut.
Kita tidak dapat tergantung pada teknologi hijau saja untuk menyelamatkan Bumi.Karena penyebab terburuk dari hal itu berasal dari industri daging. Setiap orang mengetahuinya, semua ilmuwan telah melaporkannya kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar